Tahun 04 Edisi 16

Bagi seorang daíi, berdakwah di mana saja bukanlah sebuah masalah, baik itu di mushola, masjid, gedung pertemuan, dsb. Namun, pernahkah kita membayangkan jika harus berdakwah di tengah hutan rimba? Memangnya ada? Ada, dan hal tersebut sudah dijalankan 7 tahun silam oleh seorang ustadz dari Pemalang, Jawa tengah. Adalah ustadz Nurhadi yang telah mengemban amanah tak biasa tersebut. Melalui suatu program yang dicanangkan oleh sebuah lembaga, beliau berdakwah pada sekelompok suku primitif di kepulauan Halmahera. Suku Togutil, demikian biasanya warga setempat menyebut. Ada banyak cerita di balik perjalanan dakwah beliau. Ada tantangan, ada banyak rintangan, namun meski demikian, di dalamnya juga ada kebaikan serta hasil manis yang dirasakan oleh sang ustadz. Lantas, tantangan apa saja yang ditemui oleh ustadz Nurhadi dalam perjalanan dakwahnya? Hal-hal apa saja yang beliau ajarkan pada suku Togutil? Bagaimanakah perkembangan kondisi suku tersebut pasca mengenal Islam?

Melihat berbagai tantangan yang berulang kali menerpa organisasi Islam Rasional Kebangsaan, tak jarang membuat sebagian anggota menjadi pesimis akan teraihnya cita-cita untuk memajukan bangsa Indonesia dan umat Islam. Pengrusakan dan penghancuran yang datang bertubi-tubi, memunculkan tanya, ìAkankah ada momentum yang bisa menjadi peluang untuk mewujudkan cita-cita tersebut?î Mengenai datangnya momentum dan keberhasilan dalam memanfaatkan suatu momentum, kita barangkali dapat belajar dari sejarah kemerdekaan Indonesia. Ya, kemerdekaan negeri ini sejatinya tak dapat dilepaskan dari adanya momentum dan bagaimana kesigapan para pendiri bangsa dalam membaca dan memanfaatkan peluang tersebut. Momentum yang datang dengan tiba-tiba, namun membawa berkah hingga bangsa ini dapat terlepas dari belenggu penjajah. Momentum seperti apakah yang berhasil dimanfaatkan oleh para pendiri bangsa hingga negeri ini berhasil meraih kemerdekaannya? Hal-hal apa sajakah yang menjadikan para pendahulu kita dapat dengan baik memanfaatkan momentum kemerdekaan yang datang tersebut?

Kesejahteraan seseorang, pada umumnya hanya diukur menggunakan domain ekonomi (kekayaan/pendapatan), fisik (status gizi, kesehatan,dll), ataupun psikologis. Namun dalam perkembangannya, terdapat satu lagi tolak ukur penting yang lainnya, yakni Spiritual Well-Being (SWB) atau kesejahteraan spiritual. Ya, SWB dikatakan penting karena mengingat peranannya yang sangat besar dalam membantu seseorang menghadapi problematika hidup yang dialaminya. Di samping itu, SWB juga diketahui memiliki korelasi tinggi dengan tingkat kebahagiaan hidup seseorang. Apakah spiritual well-being itu? Seperti apakah peranannya dalam menghadapi problematika hidup? Sejauh apa pula manfaat spiritual well-being bagi kepuasan dan kebahagiaan hidup seseorang?